Home Sweet Loan : Film mengenai "sandwich generation" yang mengedukasi

Banyak ulasan sudah memuji Home Sweet Loan karena menggambarkan perjuangan keuangan dengan sentuhan lembut yang hampir terasa rapuh. Namun, di luar cerita yang disusun dengan baik, film ini menonjol sebagai masterclass edukasi finansial.

Home Sweet Loan : Film mengenai "sandwich generation" yang mengedukasi
Foto dari Home Sweet Loan tentang sandwich generation

Film ini mengikuti perjalanan Kaluna saat ia menabung untuk membeli rumah. Meski berpenghasilan rata-rata dan harus mendukung kedua orang tuanya, dia tetap berjuang melewati tantangan-tantangannya.

Sabrina & Cristian, sang sutradara & produser, mengekspresikan emosi Kaluna bukan lewat dialog, tapi melalui simbol-simbol yang halus: kipas angin yang rusak, air yang keruh, dan ruangan yang gelap dan berantakan. Setiap kali Kaluna menghela napas putus asa, seisi bioskop pun seakan ikut merasakannya. Penampilan Yunita Siregar yang sederhana, ditambah dengan soundtrack yang dipilih dengan baik, membuat kita tenggelam dalam dunianya. Pengalaman bersama ini—merasakan suka, duka, dan frustrasinya—membuat film ini layak ditonton di bioskop.

Jika kamu tertarik dengan ulasan lebih dalam soal penceritaannya, aku sarankan untuk membaca tulisan Edward Suhadi.

Kebijaksanaan Finansial dalam Detail

Sepanjang film, aku mencatat beberapa pelajaran finansial tersembunyi yang semoga bisa menginspirasi penonton untuk diterapkan dalam kehidupan mereka.

1. Spreadsheet sebagai Peta Tujuan Keuangan

Perjalanan tabungan Kaluna digambarkan melalui penggunaan spreadsheet sederhana, yang menjadi panduan bagi dirinya dan penonton, menunjukkan seberapa dekat atau jauh ia dari mimpinya memiliki rumah. Angka-angka yang dingin dan keras ini membuat perjuangannya terasa lebih nyata. Begitu kuat dampaknya, hingga memicu permintaan di TikTok agar Visinema membagikan spreadsheet tersebut—yang akhirnya mereka lakukan.

Kita semua tahu, melacak pengeluaran dan membuat rencana tabungan itu penting, tetapi mempertahankannya memerlukan motivasi internal yang mendalam, sesuatu yang sulit dijaga oleh banyak orang.

2. Terlalu Banyak Kopi Menguras Tabungan

Film ini secara halus memperlihatkan bagaimana Kaluna bisa menabung dengan penghasilan yang terbatas. Ketika teman-temannya membeli makan siang, ia membawa bekalnya sendiri. Dia tidak pernah terlihat membeli kopi—sebuah kemewahan yang sering ia ingatkan kepada teman-temannya bahwa itu bisa cepat menumpuk. Pakaian sederhana tanpa merek juga menjaga anggarannya tetap terkendali, dan memiliki teman-teman yang tidak menekannya untuk berbelanja membuat menabung jadi lebih mudah.

3. Lakukan Riset Sebelum Membeli Rumah

Sesuai dugaan dari film tentang membeli rumah, Kaluna mengunjungi beberapa properti. Yang mengejutkanku adalah banyaknya nasihat bagi pembeli rumah pertama yang diselipkan dalam ceritanya. Film ini menekankan pentingnya melakukan riset mendalam—memeriksa segala hal dari keran air hingga plafon, dan memastikan penjualnya sah. Ada juga perbandingan cerdas antara menyewa dan membeli.

4. Jangan Ambil Risiko yang Tidak Perlu—Pinjam Sesuai Kemampuan

Tanpa terlalu banyak spoiler, pengelolaan keuangan Kaluna yang hati-hati sangat kontras dengan orang-orang di sekitarnya. Film ini juga menggambarkan bagaimana dia memilih opsi hipoteknya dengan bijak. Anehnya, penempatan produk seperti BCA Mortgage dan Pinhome justru menambah keaslian cerita alih-alih mengganggu.

Masih banyak lagi nugget kebijaksanaan finansial dalam film ini, meski mungkin akan lebih disukai oleh para penggila finansial—jadi, aku tidak akan membeberkan semuanya.

Siapa yang Harus Menonton Ini?

Film ini akan sangat terasa bagi pekerja kelas menengah yang sering merasa terjebak dalam kebuntuan finansial, tapi menurutku lebih penting lagi bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan—pembuat kebijakan, pengusaha, dan pelancong dunia—untuk menontonnya. Film ini menawarkan sekilas pandang yang langka ke dalam kehidupan kelas sosial yang berbeda, perspektif yang memupuk empati, sesuatu yang sangat kita butuhkan di dunia sekarang.

Film ini mengingatkanku pada The Bicycle Thief karya Vittorio De Sica. Dirilis pada tahun 1948, film ini menggambarkan perjuangan ekonomi pascaperang Italia melalui kisah seorang ayah yang mencari sepeda yang dicurinya, yang ia butuhkan untuk bekerja dan memberi makan keluarganya. Film yang begitu legendaris hingga New York Times baru-baru ini meninjaunya kembali.

Seperti yang kukatakan kepada seorang teman di World Bank, "Tidak peduli seberapa baiknya sebuah makalah riset tentang perjuangan kelas menengah, tidak ada yang bisa menggugah seperti cerita yang disampaikan dengan baik."